Memahami Pergeseran Iklim: Mengapa Cuaca Ekstrem Makin Sering Melanda Indonesia?

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, secara alami memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan pola cuaca. Namun, peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem—mulai dari banjir bandang, kekeringan berkepanjangan, hingga gelombang panas—menunjukkan bahwa kita harus segera Memahami Pergeseran Iklim yang lebih luas dan dampaknya yang mendalam. Fenomena ini bukan lagi siklus musiman biasa, melainkan manifestasi nyata dari krisis iklim global. Sebagai contoh spesifik, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa pada periode Januari hingga September 2025, terjadi peningkatan anomali suhu rata-rata permukaan laut di Samudra Hindia bagian timur sebesar 0,8 derajat Celsius di atas normal, yang menjadi pemicu utama terbentuknya siklon tropis dan curah hujan ekstrem di wilayah barat Indonesia.

Dampak dari pergeseran ini terasa di berbagai sektor. Di sektor pertanian, perubahan pola hujan yang tidak menentu telah mengganggu masa tanam dan panen. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) melaporkan bahwa setidaknya 15.000 hektar lahan sawah di Jawa Tengah mengalami puso (gagal panen) akibat kekeringan ekstrem pada pertengahan musim kemarau 2025. Sementara itu, di sektor kesehatan, peningkatan suhu dan kelembaban menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penyebaran penyakit menular. Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Siti Fauziah, mengumumkan bahwa terjadi lonjakan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di 12 provinsi pada bulan Oktober 2025, peningkatan signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Salah satu faktor kunci dalam Memahami Pergeseran Iklim ini adalah pemanasan global yang menyebabkan peningkatan energi di atmosfer bumi. Energi ekstra ini memperkuat sistem cuaca, menghasilkan badai yang lebih kuat dan intensitas hujan yang lebih tinggi dalam waktu singkat. Di sisi lain, deforestasi dan perubahan tata guna lahan di dalam negeri juga memperburuk situasi. Hutan, yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap air alami, berkurang drastis, meningkatkan limpasan air permukaan dan risiko longsor. Contohnya, investigasi pasca-banjir bandang di Kalimantan Selatan pada Januari 2025 menunjukkan adanya korelasi antara kerusakan hutan di hulu dan dampak bencana di hilir.

Upaya mitigasi dan adaptasi kini menjadi prioritas nasional. Pemerintah telah mengaktifkan kembali Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian Iklim yang melibatkan 7 kementerian dan lembaga. Satgas ini bertugas memonitor dan merumuskan kebijakan adaptasi berbasis data ilmiah. Selain itu, Kementerian PUPR tengah gencar melakukan pembangunan infrastruktur pengendali banjir, termasuk 5 bendungan baru yang ditargetkan selesai pada akhir 2026, sebagai respons terhadap Memahami Pergeseran Iklim dan dampaknya. Kesimpulannya, frekuensi cuaca ekstrem yang tinggi di Indonesia adalah panggilan darurat bagi semua pihak untuk tidak hanya merespons bencana, tetapi juga mengambil tindakan preventif yang terstruktur dan masif dalam menghadapi ancaman perubahan iklim global yang terus berkembang.

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org

toto slot

toto slot